Ada
begitu banyak hal yang selalu diperhadapkan dengan kehidupan manusia dan hal
itu semua teramkum dalam satu kata yakni “persoalan” alias “Problem”.
Tidak
ada seorang pun (bahkan bayi yang masih ada dalam kandungan) yang tidak pernah
mengalami yang namanya ‘problem’, sebab orang yang hidupnya ‘tidak normal’ pun
mengalami berbagai ‘problems’, apalagi orang yang hidup normal. Sebab terkadang
bagi orang yang ‘tidak normal’, ‘problems’ seolah-olah bukanlah ‘problem’ dalam
kehidupan mereka, sedangkan bagi orang yang ‘normal’ terkadang hal-hal yang
bukan ‘problem’ pun dijadikan sebagai sebuah problema. Oleh karena itu, secara
pribadi saya memberi sebuah statement bahwa, ‘problems’ datang kepada manusia
menandakan bahwa ‘manusia itu’ hidupnya masih ‘normal.’ Normal maksud saya
bukanlah hal yang hanya secara particular merujuk kepada kehidupan sosial, ekonomi,
perkawinan, gender, habits, dan sebagainya. Namun ‘normal’ di sini merujuk
kepada hal yang ‘generally’.
Dalam
tulisan ini, secara pribadi saya ingin merespons sebuah ‘statement’ dari
seorang pengkhotbah di atas mimbar. Ini tentu bukan sebuah penghakiman, namun
lebih kearah hal yang perlu dikritisi dan hal yang perlu mendapatkan
pencerahan.
Suatu
ketika di hari Minggu, saya mengikuti Ibadah seperti biasanya di hari Minggu. Namun
ini lebih kepada sebuah kunjungan ke suatu jemaat. Nas pembacaan saat itu
terambil di dalam 1 Yoh.5:6-12. Pengkhotbah menguraikan renungan yang bertajuk
pada sebuah tema umum ‘kesaksian’. Tentu hal ini menarik karena dapat
memperteguh iman jemaat untuk lebih setia dalam iman dan membawa ‘testimonies’
dalam kehidupan mereka setiap saat. Nas ini secara konteks memberitakan zaman
pelayanan Yohanes yang menghadapi pengajar-pengajar lain yang memiliki aliran
filsafat Yunani yang kuat yang tentunya tidak berdasarkan dengan kebenaran
Injil, salah satunya adalah aliran Gnostik. Aliran gnostis, Doketisme adalah
aliran menjurus pada kerohanian yang murni dan pada suatu persatuan yang
langsung dengan Allah tanpa manusia Yesus, tanpa persekutuan kasih dan tanpa
hukum-hukum yang membebani kewajiban-kewajiban.(http://alkitab.sabda.org/dictionary.php?word=Yohanes,%20Surat-Surat%20Yohanes).
Nah,
apa yang ingin saya kutip di sini? Mengapa saya perlu mengkiritisi hal
demikian? Padahal secara latar belakang konteks nas itu sudah benar. Yang perlu
saya kritisi adalah pengaplikasian dari renungan
khotbah ini. Sebuah kalimat dalam statement pengkhotbah yang kurang lebih rangkaiannya
seperti ini, “Saya kuatir akan pemuda-pemudi kita sekarang, jangan mudah untuk
tergoda dengan tawaran-tawaran dari kelompok-kelompok yang ada di luar yang
mengajak Anda untuk masuk dalam kelompok-kelompoknya. Bagi orang tua, teruslah
peringati anak-anak kita supaya jangan mudah untuk tergoda dengan hal-hal
(ajaran-ajaran) yang tidak sesuai dengan kebenaran. Jadikanlah Alkitab sebagai
patokan yang utama dalam melihat bergabagai ajaran yang ada.”
Apa
yang Anda bisa tangkap dari rangkaian kalimat ini? Apa yang salah atau apa yang
menjadi kekeliruan Anda? Actually, seolah-olah tidak ada yang perlu dikritisi
dari kalimat ini, pesan ini sudah benar dan senantiasa menjadi sebuah dorongan
yang harus kontinyu dipesankan kepada anak muda supaya mereka tetap selalu
berhati-hati dalam pergaulannya dalam memilah-milih suatu ajaran yang
diperhadapkan kepada mereka. And atentu setuju.
Namun,
adakah terbersit sedikit pun dipikiran Anda sesuatu yang perlu dikritisi? Anda tentunya
tidak perlu mengkritisi susunan kalimat yang ada, bukan itu yang menjadi hal
yang perlu saya kritisi. Namun, lewat ungkapan statement ini, muncul dalam
pemikiran saya bahwa, ada sebuah “kekuatiran” dalam diri pengkhotbah ini lewat
ungkapannya. Ada kekuatiran yang besar yang sedang diperhadapkan dengan lingkup
pelayanannya bagi anak muda. Tentu bagi Anda yang mengenal dan bergelut dalam pelayanan
‘kaum muda’ mengetahui hal-hal apa saja yang menjadi ‘problems’ bagi pelayanan ‘kaum
muda’ saat ini. Saya menangkap bahwa ‘kekuatiran’ dari sang pengkhotbah ini
adalah suatu saat anak-anak muda dalam gerejanya tidak lagi mau mengambil
bagian dalam peribadahan atau kegiatan kepemudaan di dalam gerejanya, karena
lebih tertarik oleh ajaran ‘kelompok-kelompok’ yang menarik anak muda untuk
lebih menikmati persekutuan yang berbeda dengan menggunakan konteks secara
relevan dengan cara hidup anak muda zaman sekarang, kira-kira itulah bahasa
sederhananya.
Secara
eksplisit, sang pengkhotbah ini sedang mengungkapkan kekuatirannya akan
banyaknya gerakan-gerakan pelayanan ‘kaum muda’ di luar sana yang mencoba untuk
merebut jiwa ‘anak muda’ gerejanya untuk ditarik keluar dan bergabung dengan
mereka. Kalau hal ini terjadi, tentu siapapun gembala jemaat akan kehilangan beberapa
jiwa dari gerejanya, masih untung kalau bukan jiwanya yang hilang alias sakit
jiwa (kelakar). Bagi sebagian pendeta atau hamba Tuhan, gerakan semacam ini
adalah gerakan ‘pencuri jiwa.’
Bagi saya secara pribadi, mereka ini bukan
perebut atau dalam bahasa kasarnya pencuri jiwa ‘kaum muda’, namun lebih kepada
penggebrak jiwa ‘kaum muda’. Siapa penggebrak ini? Siapa lagi kalau bukan gerakan-gerakan
‘Kharismatik’, gerakan yang sebagian dari kaum Protestan tidak senangi karena
sepak terjang gerakan ini dalam dunia pelayanan. Saya penganut Protestan dan
saya penganut Teologi Reformed, namun saya bukan termasuk dari kaum Protestan
yang ‘anti’ terhadap gerakan Kharismatik. Sebagai hamba Tuhan , saya bersikap
toleran kepada setiap umat Kristen yang berbeda denominasi namun sama-sama
memegang Alkitab sebagai patokan utama dalam hidup beriman, tapi menolak keras
berbagai ajaran Kristen yang sudah melenceng dari Alkitab sebagai patokan utama
dalam kehidupan kekristenan.
Kembali
kepada gerakan Kharismatik (gerakan yang mengutamakan karunia-karunia Allah
dalam kehidupan pelayanannya) yang saat ini semakin menggebrak dunia pelayanan.
Tentu ada hal-hal yang pro dan kontra yang perlu untuk dipertimbangkan dalam
gerakan ini. Gerakan ini tidak terlalu mementingkan dogma-dogma geraja
sebagaimana yang dianut oleh kaum Protestan, seolah-olah dogma itu hanya
mengekang kehidupan kekristenan. Namun mereka lebih mengutamakan bagaimana
karunia yang Allah percayakan dimaksimalkan untuk menuai jiwa-jiwa bagi Allah. Sedangkan
bagi ‘sebagian’ kaum Protestan kehidupan dan pikiran mereka lebih diikat oleh
dogma geraja dan terasa sulit untuk memaksimalkan karunia yang dipercayakan
Allah bagi mereka, mungkin saja mereka merasa tidak memiliki karunia karena
tidak memaksimalkannya atau tidak pernah menyadarinya dalam hal ini saya katakan
“kaum Protestan yang seperti ini adalah
orang-orang yang memendam hartanya dan tidak tahu kegunaannya untuk apa, jadi
sebaiknya disimpan saja’. Ada juga yang bilang metode “cari aman’ saja.
Namun
ada hal yang perlu perhatikan juga dalam sepak terjang kaum ‘Kharismatik’,
tidak semua harus ditelan mentah-mentah. Saya setuju dengan ‘illustrasi’ pengkhotbah
di atas yang mengatakan, melihat ajaran-ajaran yang ada disekitar kita sama
seperti ketika kita makan nasi. Kalau sementara kita makan dan tiba-tiba ada
pecahan batu kecil di nasi, tentu kita sadari dan perlu kita buang dan yang
perlu ditelan tentu hanya nasinya saja. Demikian juga dengan ajaran-ajaran ‘penggebrak’
ini, ada yang perlu diperhatikan untuk
kita berhati-hati. Misalnya mengenai karunia berbahasa roh, saya
percaya adanya karunia bahasa roh namun sampai saat ini saya tidak merasa dan
menemukan dalam diri saya karunia untuk
berbahasa roh, jadi saya tidak perlu berusaha seolah-olah saya punya karunia
ini dan saya ikut berbahasa roh takkala ada orang lain yang sedang ‘merasa’
diriya berbahasa roh. Bahasa roh bukanlah sebuah bahsa yang
dikira-kira. Mengapa orang merasa bahwa orang ini atau dirinya sedang berbahasa
roh, karena hanya sekedar mengira-ngira bahwa inilah bahsa roh. (Pdt AS).
Ingat!
Karunia bukanlah diusahakan oleh manusia apalagi dikursuskan (di Makassar
pernah ada yang membuka kursus bahasa roh), sebab karunia itu adalah pemberian
Allah kepada manusia yang dipercaya-Nya mampu bertanggung jab pada karunianya. Anda
dapat membandingkannya dengan karunia nabi atau bernubuat (khotbah), orang
tidak perlu kursus untuk memperoleh karunia ini. Karena apa, kursus berarti
kita sedang berusaha untuk bisa mendapatkan sebuah ilmu itu, dengan usaha kita
maka suatu saat kita bisa menguasainya, kursus English misalnya. Karunia nabi
ataupun nubuat, toh hamba Tuhan yang ikut ‘kuliah’ tidak akan mampu bisa kalau
mereka memang tidak punya karunia tersebut. Tidak semua orang yang kuliah ‘homiletik’
punya karunia untuk berkhotbah, semua orang dapat mengerti teori, atau pun metodenya
namun tidak semua mereka itu dapat berkhotbah.
Ini
tentu hanya pelurusan pemahaman, bagi Anda yang keberatan semoga tidak menjadi
masalah buat Anda, apalagi kalau Anda yakin
bahwa Anda mendapatkan karunia berbahasa roh dari Allah, tersulah maksimalkan. Sekali
lagi saya tekankan, saya percaya akan adanya karunia bahasa roh dan tentu saya
sangat bersyukur kalau Tuhan mengaruniakan itu pada saya, namun Allah tentu
melihat kemampuan setiap kita, sebarapa kuat dan sebarapa mampu kita memaksiimalkan
karunia kita untuk dipertanggung jawabkan dihadapan-Nya. Secara pribadi, satu
karunia yang saya miliki sudah menjadi hal yang luar biasa selagi saya mampu
memaksimalkan dan mempertanggung jawabkannya dihadapan Allah. Diberi dua atau
tiga, It all are incredible.
Nah,
kembali kepada ‘kekuatiran’ sang pengkhotbah di atas. Secara etika pelayanan,
seharusnya statement dalam rangkaian
kalimat sang pengkhotbah ini tidak perlu diucapkan di atas mimbar. Mengapa saya
katakana demikian? Lepas dari masalah jujur dan tidaknya, kalau dikatakakan
jujur, yah hal ini tentu dapat point 100 dari Tuhan, karena firman Allah sendiri
berkata, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah
kamu katakan: tidak. Apa
yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat.” (Mat.5:37;
Yak.5:12). Namun dalam pemikiran saya ini tidak sesuai dengan konteksnya,
konteks etika dan konteks sikon. Secara etika hamba Tuhan, ini sama saja sedang
memaparkan ‘failure’ alias kegagalan sang pengkhotbah dalam menggembalakan anak
muda tanpa menyadarinya bahwa ini tentu menyorot dirinya sendiri. sikonnya pun
tidak sesuai karena disampaikan lewat mimbar. Hai bapak-bapak gembala di mana
pun Anda berada, tahu kah kita bahwa sebagian ‘anak muda’ menjadikan ‘mimbar’
gereja itu sebagai sebuah ‘idiom’ ? Idiom ini berarti ‘tempat penghakiman’ bagi
mereka. Maka dari itu, sebaiknya kalau khotbah di kalangan ‘pemuda’ hindarilah
pemakaian ‘mimbar’ secara kontinyu, cobalah untuk tidak setiap minggu dalam
persekutuan menggunakan khotbah mimbar, mungkin Anda bisa coba nongkrong di café,
di warkop, di balkon gereja dsb sambil membicarakan hal-hal yang relevan bagi
anak muda sekarang dan tentu tidak lupa jadikan firTu sebagai patokan (jangan
juga cuman ngopi doang), bukan hanya khotbah terus di mimbar. Saya kira ini
metode yang digunakan dari gerakan-gerakan kahrismatik sehingga menarik banyak
kaum muda, karena memang inilah yang ‘interest’ mereka, itulah pentingnya
konteks. Saya pernah coba ini dan hal ini berhasil, ini interesting bangetlah
kalau bisa dikatakan begitu bagi anak muda, apalagi kaum remaja. Kebanyakan aliran
Protestan belum menerapkan metode demikian, makanya tidak dapat merasakan
manfaatnya karena tidak ‘ingin’ dicoba. Saya belajar dari kaum Kharismatik hal
demikian dan juga semangat mereka, patut diancungin jempol.
Jadi,
itulah yang saya ingin kritisi dari sang pengkhotbah, menyampaikan sesuatu dari
atas mimbar yang sebenarnya mengutarakan ‘failurenya’ sendiri tanpa disadari. Memang
setiap kita punya titik ‘weakness’, namun sebaiknya hal itu tidak diperlihatkan
di atas mimbar, cobalah ambil waktu untuk membicarakan atau konsultasi dengan
bebrapa pemuda (jika ada) yang telah mulai terpengaruh gerakan-gerakan yang
menarik mereka, tanyakan apa alasannya dan sebaiknya seorang gembala belajar
dari hal ini. Dia tentu perlu menyadari bahwa metode atau pengajarannya mungkin
sudah tidak relevan dengan zaman anak muda sekarang. Cobalah cari solusi untuk
melakukan cara terbaik dalam melayani atau menggembalakan anak muda sesuai
dengan konteksnya. Karena itu, bagi saya seorang pendeta/gembala/preacher itu harus
GAUL, gaul bukan berarti perlu memakai pakaian-pakaian yang ‘terlalu lebay’
bagi ukuran seorang pendeta, tapi setidaknya pertemukanlah konteks dan ajaran
yang disampaikan. Pada dasarnya gaul berarti, tahu dunia anak muda setiap
zamannnya seperti apa, tahu apa yang mereka gunakan misalnya penggunaan
gadget/IT, dunia pergaulan mereka, dsb. Sekarang zaman internet dan seorang
pendeta/preacher harus tahu bagaimana menggunakannya, apalagi bagi mereka yang
melayani di kota, wah ini sebuah kebutuhan banget, ‘mau eg mau’ harus tahulah,
it’s compulsory (wajib) hukumnnya. Beda kalau Anda melayani di desa, meskipun
suatu hal yang perlu ditahu tapi tidak terlalu menjadi kewajiban, kecuali Anda
mungkin suatu saat akan dimuatsi ke kota, wajib tahu.
Karena
itu, sewaktu saya mengikuti sebuah pelatihan kepemimpinan dasar dari sebuah
organisasi pemuda yang diadakan oleh lembaga Gereja tempat saya sebagai anggota
jemaat di denominasi ini, saya menulis sebuah ‘paper’ dengan melihat kebutuhan
pelayanan pemuda yang sangat ‘urgen’ sebenarnya, namun seolah-olah tidak
mendapat respons dari panitia yaitu mengusulkan adanya ‘youth pastor’ atau
gembala pemuda yang memang khusus menggembalakan pemuda di gereja ini. Mengapa?
Seorang pendeta jemaat yang sudah ‘tua’ dan tidak dapat mengembangkan pelayanan
secara konteks zaman bagi kaum muda, akan membuat pemuda ‘kurang bergizi’. Mengapa?
Karena ‘air atau pun pupuk’ yang dibutuhkan bagi kaum muda tidak sesuai dengan
air/pupuk yang diberikan kepada mereka. Tidak
akan ada koneksi antara pergaulan anak muda zaman sekarang dengan pergaulan pendeta di zaman 70an atau 80an,
kecuali dia sebagai gemabala bisa dikatakan ‘GAUL.” Karena itu dibutuhkan
gembala-gembala muda yang berpotensi dan memiliki kualifikasi penggembalaan
yang relevan dengan zaman yang ada.
Mengapa
geraja tidak menyediakan gembala muda?
Mengapa
geraja tidak mensupport anak-anak muda untuk menjalani pendidikan di sekolah
seminary?
Mengapa
gereja seolah-olah tiddak membutuhkan Timothius-Thimothius zaman sekarang?
Mengapa
geraja hanya terus mengandalkan pendeta-pendeta yang sudah beruban, entah itu
rambut atau jenggot mereka?
Mengapa gereja tidak menyadari perlunya
kebutuhan ini?
Katanya kaum muda adalah generasi masa depan
dan tiang-tiang atau pilar-pilar geraja masa kini, tapi mengapa mereka
seolah-olah dibedakan dari jemaat yang sudah merupakan orang-orang tua?
Hei!
Para pemimpin Gereja, bangunlah! Siapapun Anda, anak muda membutuhkan uluran
tangan kalian. Penuhilah kkebutuhan anak muda kalau gereja Anda tidak ingin
kosong 10 atau 20 tahun ke depan!
Sekarang,
bagi para pemimpin gereja yang merasa jiwa-jiwanya telah dicuri oleh gerakan-gerakan
penggebrak, apakah mereka mencuri jiwa-jiwa Anda atau Anda yang membiarkan jiwa-jiwa
Anda terlantar sehingga ditemukan tersesat oleh ‘penggebrak’?
Alangkah
baiknya jika jiwa-jiwa (domba) Anda yang terlantar digembalakan bagi gerakan ‘pencuri
jiwa’ dari pada Anda menelantarkan seekor domba yang membutuhkan kepuasaan
rohaninya. Itu lebih baik dari pada mereka makan rumput tetangga dan dijadikan ‘kawanan
kambing’ mereka, bukan?
Saya
percaya bahwa Tuhan memakai para penggebrak untuk membangunkan Anda dari tidur
yang panjang dalam memimpikan ‘dogma-dogma’ gereja kita. Tidak semua metode
para penggebrak harus kita singkirkan, adakalanya kita perlu belajar dari
mereka. Salam kritis dan damai. God bless.