BAB I
PENDAHULUAN
Pernikahan
adalah impian sebagian besar manusia di dunia ini. Tidak dapat dipungkiri,
bahwa sebagian manusia menepatkan pernikahan sebagai salah satu bagian dari
tujuan hidup mereka. Namun pernikahan bukanlah ukuran bagi manusia dapat disebut
normal, maksudnya menikah atau pun tidak menikah bukanlah suatu ukuran yang
menjadi patokan bahwa manusia itu normal atau tidak normal. Karena itu, banyak
orang berpikir bahwa menikah hanyalah sebuah pilihan hidup bagi mereka yang mau
menjalaninya.
|
Impian sebagian besar manusia. |
Pada
dasarnya manusia ingin membangun rumah tangga yang penuh kebahagiaan lewat
pernikahan yang mereka laksanakan. Namun manusia boleh saja berharap, tapi
proses dalam membangun kebahagiaan itu tentulah tidak mudah. Banyak tantangan
yang akan dihadapi oleh kedua pasangan suami isteri dalam sebuah rumah tangga. Selain
menguji kedewasaan dalam bertindak, terlebih juga setiap tantangan yang
diperhadapkan kepada sebuah rumah tangga adalah ujian kesetiaan, baik sebagai
suami maupun sebagai isteri.
Salah
satu tantangan yang menjadi isu terhangat dalam sebuah keluarga disepanjang
abad adalah kasus perceraian. Kasus perceraian ini adalah masalah yang selalu
menimpa sebagian besar keluarga yang tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan
rumah tangga mereka. Masalah ketidaksetiaan seorang suami atau isteri sehingga
berselingkuh, masalah ekonomi keluarga, masalah ketidakcocokan, masalah
ketidakmampuan seorang suami bertanggung jawab, dan berbagai masalah lain
selalu menjadi pemicu terjadi perceraian dalam sebuah rumah tangga.
Melalui
media elektronik maupun media cetak,
berita hangat dari kalangan selebriti tentang perceraian selalu menjadi topik
menarik yang dibahas oleh para pencari berita. Perceraian seolah-olah sudah
menjadi gaya hidup bagi sebagian selebriti tanah air maupun selebriti manca
Negara. Mereka sepertinya membeli sebuah pernikahan dengan uang mereka, ketika
tidak ada lagi kecocokan di antara mereka, perceraian menjadi jalan untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi. Ini hanya sebagian kasus perceraian dari
kalangan selebriti yang terekspos, tentu begitu banyak kasus yang terjadi
dikalangan masyarakt lainnya yang tidak terekspos. Pernikahan yang diadakan
secara sakral dalam setiap ajaran agama, kini seolah-olah tidak ada maknanya.
Mereka boleh menikah kapan saja, setelah itu bebas juga untuk bercerai.
Perceraian
kini sudah menjadi hal yang biasa terdengar dan terjadi, baik di luar maupun di
dalam gereja sendiri. Tentu kasus demikian menjadi tantangan bagi para pemimpin
rohani pada khususnya. Para pemimpin rohani dalam hal ini orang-orang yang ahli
dalam bidang agama harus menjadi mediator dan mengambil peranan penting dalam
masalah seperti ini. Sebab merekalah yang selalu dipercayakan untuk memimpin
upacara perkawinan atau pernikahan yang merupakan upacara yang sakral. Dalam
kekristenan, pemimpin rohanilah yang berperan untuk memberkati setiap orang
yang dinikahkan. Karena itu merupakan suatu tanggung jawab bagi mereka untuk
mengatasi masalah-masalah demikian berdasarkan pengajaran firman Tuhan dalam
Alkitab yang ada.
Salah
satu yang menjadi latar belakang pembuatan karya ilmiah ini adalah pandangan
tentang perceraian dalam hubungannya dengan etika Kristen. Adakah dasar yang
membenarkan kasus perceraian dalam pandangan Alkitab yang merupakan patokan
kebenaran dalam kekristenan.
BAB II
PANDANGAN ETIKA KRISTEN TENTANG PERCERAIAN
Arti Perkawinan dalam
Pandangan Kristen
Perceraian
terjadi karena adanya perkawinan, maksudnya perceraian merupakan produk akhir
dari sebuah perkawinan yang tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian tidak
mungkin terjadi apabila tidak ada perkawinan, karena itu penting untuk
mempelajari sedikit tentang arti perkawinan, khusunya perkawinan dalam
pandangan kekristenan.
Perkawinan dalam
pengajaran Kristen merupakan salah satu upacara yang sakral. Karena nilai
sakralnya, tidak sembarang orang yang harus mengadakan acara pemberkatan dalam
sebuah gereja. Pemberkatan dua insan yang dipersatukan dalam sebuah perkawinan
harus diberkati oleh hamba Tuhan, hamba Tuhan dalam hal ini mereka yang ada
dalam jawatan Pendeta. Nilai sakral dari perkawinan itu juga membuatnya harus
dihormati. Stephen Tong berkata dalam bukunya bahwa, “Kitab Suci mengharuskan
setiap orang untuk menghormati pernikahan (Ibr. 13:4). Tidak ada pengecualian.
Baik orang yang sudah menikah maupun yang belum menikah, yang belum mempunyai
kesempatan menikah atau yang tidak menikah, harus menghormati pernikahan.”
Perkawinan
adalah komitmen seumur hidup antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan
yang melibatkan hak-hak seksual timbal balik. Setidaknya ada tiga unsur dasar
dalam konsep Alkitab tentang perkawinan, yaitu (a). perkawinan adalah antara
seorang laki-laki dengan perempuan, (b).
perkawinan melibatkan penyatuan seksual, dan (c). perkawinan merupakan perjanjian
di hadadapan Allah.
Jadi, menurut
pandangan di atas, pada dasarnya perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian di
hadapan Allah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam membangun
suatu kesatuan (dalam sebuah keluarga). Tentu tujuan dalam perkawinan bukan
hanya untuk penatuan seksual atau pemenuhan kebutuhan seksual semata, namun
pasangan suami isteri harus saling melengkapai satu sama lain dalam membangun
rumah tangga yang Allah percayakan kepada mereka. Terlebih lagi tujuan utama
yang harus diingat bahwa, lemabaga kecil ini (keluarga) senantiasa di dalamnya
mempermuliakan nama Allah yang telah mempersatukan mereka.
Dasar Alkitab tentang
Perkawinan
Sejak
permulaan penciptaan, Allah menciptakan manusia untuk suatu tujuan yang kekal. Manusia
diciptakan untuk tujuan Allah sendiri dalam dunia ini. Rick Warren berkata
dalam bukunya bahwa, “Anda dijadikan untuk Allah, bukan sebaliknya, dan hidup
berarti membiarkan Allah memakai Anda bagi tujuan-Nya, bukan Anda yang
menggunakan Allah bagi tujuan Anda sendiri.”
Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa meskipun tujuan Allah bagi manusia
adalah tujuan kekekalan, namun perkawinan tidak berlanjut sampai kepada kekekalan.
Salah
satu nas yang penulis akan jadikan sebagai dasar Alkitabiah tentang perkawinan
adalah pengajaran Tuhan Yesus sendiri dalam Matius 19:4-6. Dalam ayat 4 yang
berkata, “Jawab Yesus: "Tidakkah
kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka
laki-laki dan perempuan?” Ayat ini dikutip oleh Yesus berdasarkan firman
Tuhan dalam Kejadian 1:27. Ayat ini menjelaskan tentang Allah sebagai sang
Pencipta dan menciptakan laki-laki dan perempuan. Penciptaan manusia, yaitu
laki-laki dan perempuan menandakan adanya perbedaan di antara keduanya meskipun
keduanya sehakikat.
Perbedaan dari
kedua pribadi ini (laki-laki dan perempuan) tidak menunjukkan masalah buat
Allah, justru menunjukkan karya kreatif Allah yang luar biasa. Berdasarkan
Kejadian 1:31 tentang apa yang Allah telah jadikan ‘sungguh amat baik’
merupakan bukti bahwa semua yang diciptakan Allah, khususnya manusia termasuk
seksualitas mereka adalah hal yang “sungguh amat baik” dalam pemandangan Allah.
Nas berikutnya
dalam ayat 5 dan 6 berkata, “Sebab itu
laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
sehingga keduanya itu menjadi satu daging . Demikianlah mereka bukan lagi dua,
melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh
diceraikan manusia.” Ayat ini kemudian menjadi penjelasan yang mendalam
dari Yesus sendiri mengenai pertanyaan yang diajukan kepada-Nya yang
dikutip-Nya dari Kejadian 1:24. Sebelumnya
dalam Kejadian 1:18, 20-22 Allah melihat kebutuhan manusia pertama akan
pendamping hidupnya sebagai penolong yang sepadan dengan dia. Karena itu, Allah
mengaruniakan kepada manusia pertama seorang penolong yang sepadan dengan dia
dengan cara mengambil salah satu rusuk Adam, dan membuat baginya seorang
perempuan. B. Ward Powers berkata bahwa, “perempuan diambil dari rusuk
laki-laki menunjukkan bahwa laki-laki tidak lengkap tanpa perempuan dan
sebaliknya perempuan tidak lengkap tanpa laki-laki.”
Sedangkan penolong yang sepadan menunjukkan bahwa, perempuan merupakan rekan
yang senantiasa mengasihi dan bersama-sama bertanggung jawab dalam memnuhi
maksud Allah bagi kehidupan laki-laki dan keluarganya.
Dengan demikian , lebih jelas lagi bahwa Allah
menghendaki dalam sebuah perkawinan itu satu pasangan dan satu perkawinan untuk
seumur hidup. Rencana Allah dalam sebuah perkawinan adalah bagaimana dalam
sebuah perkawinan itu antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan
bersatu menjadi satu daging, baik secara jasmani maupun rohani. Dalam semuanya
itu mereka harus saling melengkapi dalam
memenuhi tujuan Allah dalam kehidupan keluarganya untuk kemuliaan Allah.
Kisah Penciptaan
menunjukkan—dan pengajaran Yesus meneguhkan dan menguatkan—bahwa manusia dengan
sengaja diciptakan Allah dengan tiga macam kebutuhan dasar, yakni: pertemanan
hidup, saling menolong, dan pemenuhan hasrat seksual. Lebih tepat lagi
mengatakan berdasarkan pandangan Alkitab bahwa sebenarnya tujuan perkawinan
hanya satu, yaitu dua kehidupan yang menyatu secara menyeluruh. Ketiga tujuan
di atas hanyalah aspek yang berbeda dari satu tujuan dasar itu, yang saling
berkaitan satu sama lain.
Berdasarkan
beberapa penjelasan di atas, nyata bahwa perkawinan adalah hal yang sakral di
hadapan Allah. Karena di hadapan Allah sebuah pasangan laki-laki dan perempuan
mengikat perjanjian untuk masuk dalam rumah tangga melalui proses perkawinan.
Perkawinan pada dasarnya Allah kehendaki untuk manusia agar mereka saling melengkapi
satu sama lain. Semua yang Allah ciptakan adalah sungguh amat baik, karena
diciptakan di dalam kekudusan-Nya. Oleh karena itu, perkawinan yang Allah
kehendaki adalah sebuah hal yang kudus di hadapan-Nya yang seharusnya tidak
dikotori oleh manusia ciptaan-Nya.
Perceraian dalam Pandangan Etika
Krsiten secara Alkitabiah
Semua masalah dalam dunia ini membutuhkan pemecahan
dan tentu pemecahan itu harus diawali dengan keputusan dari setiap pribadi.
Keputusan tersebut biasanya disebut sebagai keputusan etis. Keputusn etis dari
setiap pribadi harus berdasarkan etika yang berlaku. Malcolm Brownlee berkata
dalam bukunya bahwa, “Etika” dan “etis” hampir sama dengan “moralitas” dan
“moral.” Akan tetapi dalam pemakaian ilmiah “moralitas” biasanya menyangkut
kebaikan atau keburukan kelakuan lahir yang sebenarnya terjadi. Sedangkan
“etika” menyangkut pemikiran yang sistematis tentang kelakuan itu serta
motivasi dan keadaan batin yang mendasarinya.
Jadi, ketika etika dihubungkan dengan ajaran Kristen, itu berarti etika yang
ada harus didasari dengan pengajaran Kristen itu sendiri. Salah satu masalah
yang harus dipecahkan secara etika Kristen adalah masalah perceraian.
Pada dasarnya perkawinan
yang Allah kehendaki adalah perkawinan yang bersifat monogami. Ketika Allah
mempersatukan dua orang, antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah
perkawinan, Allah menghendaki dan memerintahkan mereka menjadi satu daging dan
tidak boleh dipisahkan satu sama lain (Mat. 19:6; Rm. 7:12). “Implikasinya
adalah bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat
tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusiawi pun yang dapat mengakhiri persatuan
demikian (Mat. 19:6).”
|
Divorce |
Dalam Mal. 2:16
Allah berkata kepada Maleakhi, “Aku membenci perceraian.” Ini berarti bahwa
Allah tidak pernah mengharapkan dan merancangkan perceraian di antara pasangan
suami isteri dari semula, sebab ketika Allah berkata Dia membenci perceraian
itu berarti perceraian adalah sesuatu yang tidak menyenangkan hati Allah.
Ketika Allah mempersatukan, itu tidak boleh dipisahkan oleh manusia (Mat.19:6).
Meskipun Allah
tidak pernah merancangkan adanya perceraian, namun di sisi lain yang menjadi
pertanyaan, apakah Allah mengizinkan adanya perceraian? Yesus berkata dalam Matius 19:8 demikian, “Karena
ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak
semula tidaklah demikian.” Dari nas Matius 19:8 dapat ditarik sebuah kesimpulan
bahwa Allah mengizinkan perceraian tetapi tidak pernah memaksudkan perceraian. Perceraian
terjadi pada masa Perjanjian Lama itu karena ketegaran hati umat Allah pada
saat itu, bukan atas rancangan Allah. Hal itu terjadi karena kehendak manusia
yang tidak sanggup mengahadapi masalah yang menimpa hubungan mereka, sehingga
mengambil jalan penyelesaian masalah dengan perceraian.
Dalam
Mar.10:11-12; Luk. 16:18, Yesus mengutuk keras perceraian dan secara tegas
tidak memberikan perkecualian mengenai perceraian apa pun itu yang menjadi
alasannya. Yang disebut perkecualian
dalam bagian paralel dalam Injil Matius (19:1- 9, bdk. dengan 5:32) menjelaskan
bukan tentang perceraian karena perzinahan melainkan pembatalan karena
“percabulan” sebelum perkawinan (ayat 9). Hal ini sesuai dengan penekanan
Yahudi dalam Injil Matius dan hukum Yahudi tentang percabulan sebelum
perkawinan menjadi dasar dibatalkannya perkawinan. Menurut hukum Yahudi,
istilah suami juga berarti pria yang sudah bertunangan (Ul. 22:13-19; Mat.
1:18-25). Selanjutnya, dalam Injil Lukas tidak memberikan perkecualian untuk
perceraian melainkan berkata secara tegas, “Setiap orang yang menceraikan
isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa
kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.”
Dengan demikian
perceraian merupakan tindakan yang tidak pernah dibenarkan dalam ajaran
kekristenan. Perceraian yang dibolehkan di atas hanya dalam konteks ketika
masih dalam keadaan bertungan. Dalam tradisi Yahudi, sebelum berlangsungnya
perkawinan mereka harus bertungan terlebih dahulu. Perceraian dapat diijinkan
jika mereka masih dalam status bertungan jika salah satunya didapati berbuat
cabul dengan orang lain, namun setelah mereka adalah dalam ikatan perkawinan,
perceraian tidak dapat diizinkan karena mereka sudah menjadi satu secara daging
(Mat.19:6).
Meskipun dalam
pandangan lain, beberapa orang mendukung adanya perceraian berdasarkan beberapa
alasan yang juga didasari oleh firman Tuhan. Seperti adanya perzinahan yang
terjadi dan ditinggalkan oleh pasangan yang tidak beriman, hal ini boleh saja
melakukan perceraian. Tapi bagi penulis, perceraian dalam bentuk alasan apa pun
seharusnya tidak diperbolehkan. Masalah-masalah yang terjadi dalam sebuah
hubungan perkawinan tidak seharusnya diselesaikan dengan jalan perceraian,
namun masih banyak cara untuk membuat kembali hubungan antara suami dan isteri
baik kembali. Salah satunya adalah menyadari keterbatasan sebagai manusia yang
penuh dengan kesalahan dan perlunya pertobatan yang sungguh-sungguh di hadapan
Allah.
Satu hal yang
perlu disadari bahwa ketika Allah sejak semulanya menciptakan manusia sebagai
pasangan (monogami) yang saling diperlengkapi dan dipersatukan menjadi satu
secara daging, tidak mungkin Allah juga merancangkan perceraian. Hanya kadang
manusia yang tidak sanggup menjalani rancangan Allah dalam kehidupan mereka,
secara khususnya dalam ikatan perkawinan, sehingga menciptakan
kebenaran-kebenaran sendiri untuk mempertahankan apa yang menjadi kehendaknya.
Secara etika
Kristen, memang hal ini menjadi masalah yang agak rumit untuk dijalankan. Namun
bagaimana pun, ketika berbicara secara etika Kristen yang diperlukan adalah
keputusan yang dapat diterima kebenarannya. “Etika Kristen menolong orang-orang
untuk berpikir dengan lebih terang tentang kehendak Allah supaya mereka dapat
mengembangkan hidupnya sendiri dan kehidupan masyarakat yang lebih sesuai
dengan kehendak Allah.”
Dengan kata lain, secara etika Kristen perceraian tidak diperbolehkan. Karena
perceraian tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebab dari semula kehendak Allah
adalah mempersatukan dua insan, antara satu orang laki-laki dan satu orang
perempuan dalam sebuah ikatan perkawinan.
|
Anak Menjadi Korban Utama dalam Perceraian! |
Sebuah keluarga
sebenarnya menggambarkan hubungan antara Allah dan manusia. Dick Iverson dalam
bukunya berkata bahwa, “Allah mengukuhkan suatu keluarga supaya terbentuk
hubungan dan persekutuan yang berpusat pada Allah.”
Jadi ketika perceraian itu terjadi, sama halnya manusia sedang merusak
hubungannya dengan Allah. Hubungan yang rusak dengan Allah masih dapat
diperbaiki dan perceraian sama sekali bukan jalan untuk memperbaiki hubungan
dengan Allah. Perceraian malahan merupakan unsur yang merusak seara total
hubungan antara manusia dengan Allah. Kesiapan sebuah keluarga untuk dipulihkan
oleh Allah adalah jalan untuk mengatasi masalah yang ada. Sekali lagi,
perceraian tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik. “Perceraian selalu
meninggalkan goresan yang tak mudah disembuhkan.” Goresan
itu bukan hanya dialami oleh pasangan yang bercera, tetapi anggota keluarga
yang lain pun akan merasakan goresan yang mendalam, khususnya bagi anak-anak
mereka.
Pada dasarnya,
sesuatu yang menimbulkan dampak yang buruk bagi kehidupan manusia tentu
merupakan hal yang tidak pernah dikehdaki oleh Allah. Sebab Allah senantiasa
mengharapkan segala yang baik terjadi dalam kehidupan umat manusia yang
dikasihinya.
BAB III
KESIMPULAN
Perkawinan
adalah pilihan hidup bagi sebagian besar manusia. Perkawinan merupakan anugerah
dari Tuhan bagi setiap pasangan dalam suatu keluarga. Allah merancangkan
perkawinan monogami bagi setiap manusia yang diciptakan-Nya sesuai dengan
kehendak-Nya. Namun terkadang oleh karena kesalahan manusia, mereka tidak
sanggup menjalankan apa yang menjadi kehendak dari Allah dalam kehidupan
mereka.
Kesalahan
manusia itu bukan hanya ingin keluar dari batasan perkawinan yang bersifat
monogami, tetapi manusia malah berusaha untuk memisahkan apa yang sudah Allah
persatukan dengan cara perceraian. Perceraian kadang menjadi jalan pintas untuk
menyelasaikan masalah dalam kehidupan berumah tangga, namun perceraian
sebenarnya bukanlah jalan yang dikehdaki Allah. Sebab ketika manusia berusaha
untuk memisahkan hubungan suami isteri, itu sama halnya manusia merusak
hubungan mereka dengan Allah.
Jadi
pada dasarnya, penulis melihat bahwa perceraian itu tidak dibenarkan secara
etika Kristen. Bagaimana pun juga perceraian melanggar dasar kebenaran firman
Tuhan yang melarang dan membenci akan perceraian. Masalah dalam sebuah rumah
tangga tidak dapat diselesaikan dengan perceraian, karena perceraian hanya akan
menambah goresan yang dalam bagi pasangan suami isteri dan juga keluarganya
yang lain. Dengan kata lain, perceraian tidak menyelesaikan masalah yang ada,
namun akan menimbulkan masalah yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bergant, Dianne dan
Robert J. Karris. Tafsir Alkitab
Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Brownlee,
Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan
Faktor-Faktor di Dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1982.
Geisler, Norman
L. Etika Kristen “Pilihan dan Isu
Kontemporer” .Malang: Literatur SAAT. 2010).
Iverson, Dick dkk.
Memulihkan Keluarga “Prinsip-Prinsip
Kehidupan Keluarga” Jakarta: Harvest Publication House. 1996
Powers, B. Ward.
Perceraian dan Perkawinan Kembali. Jakarta:
Yayasan Komunikasi Bina Kasih. 2011.
Tong, Stephen. Keluarga Bahagia. Surabaya: Momentum.
2006.
Warren, Rick. The Purpose Driven Life. Malang: Gandum Mas. 2006.