Rabu, 09 Mei 2012

PANDANGAN ETIKA KRISTEN SECARA ALKITABIAH TENTANG PERCERAIAN


BAB I
PENDAHULUAN
            Pernikahan adalah impian sebagian besar manusia di dunia ini. Tidak dapat dipungkiri, bahwa sebagian manusia menepatkan pernikahan sebagai salah satu bagian dari tujuan hidup mereka. Namun pernikahan bukanlah ukuran bagi manusia dapat disebut normal, maksudnya menikah atau pun tidak menikah bukanlah suatu ukuran yang menjadi patokan bahwa manusia itu normal atau tidak normal. Karena itu, banyak orang berpikir bahwa menikah hanyalah sebuah pilihan hidup bagi mereka yang mau menjalaninya.
Impian sebagian besar manusia.
            Pada dasarnya manusia ingin membangun rumah tangga yang penuh kebahagiaan lewat pernikahan yang mereka laksanakan. Namun manusia boleh saja berharap, tapi proses dalam membangun kebahagiaan itu tentulah tidak mudah. Banyak tantangan yang akan dihadapi oleh kedua pasangan suami isteri dalam sebuah rumah tangga. Selain menguji kedewasaan dalam bertindak, terlebih juga setiap tantangan yang diperhadapkan kepada sebuah rumah tangga adalah ujian kesetiaan, baik sebagai suami maupun sebagai isteri.
            Salah satu tantangan yang menjadi isu terhangat dalam sebuah keluarga disepanjang abad adalah kasus perceraian. Kasus perceraian ini adalah masalah yang selalu menimpa sebagian besar keluarga yang tidak sanggup lagi mempertahankan keutuhan rumah tangga mereka. Masalah ketidaksetiaan seorang suami atau isteri sehingga berselingkuh, masalah ekonomi keluarga, masalah ketidakcocokan, masalah ketidakmampuan seorang suami bertanggung jawab, dan berbagai masalah lain selalu menjadi pemicu terjadi perceraian dalam sebuah rumah tangga.
            Melalui media elektronik  maupun media cetak, berita hangat dari kalangan selebriti tentang perceraian selalu menjadi topik menarik yang dibahas oleh para pencari berita. Perceraian seolah-olah sudah menjadi gaya hidup bagi sebagian selebriti tanah air maupun selebriti manca Negara. Mereka sepertinya membeli sebuah pernikahan dengan uang mereka, ketika tidak ada lagi kecocokan di antara mereka, perceraian menjadi jalan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Ini hanya sebagian kasus perceraian dari kalangan selebriti yang terekspos, tentu begitu banyak kasus yang terjadi dikalangan masyarakt lainnya yang tidak terekspos. Pernikahan yang diadakan secara sakral dalam setiap ajaran agama, kini seolah-olah tidak ada maknanya. Mereka boleh menikah kapan saja, setelah itu bebas juga untuk bercerai.
            Perceraian kini sudah menjadi hal yang biasa terdengar dan terjadi, baik di luar maupun di dalam gereja sendiri. Tentu kasus demikian menjadi tantangan bagi para pemimpin rohani pada khususnya. Para pemimpin rohani dalam hal ini orang-orang yang ahli dalam bidang agama harus menjadi mediator dan mengambil peranan penting dalam masalah seperti ini. Sebab merekalah yang selalu dipercayakan untuk memimpin upacara perkawinan atau pernikahan yang merupakan upacara yang sakral. Dalam kekristenan, pemimpin rohanilah yang berperan untuk memberkati setiap orang yang dinikahkan. Karena itu merupakan suatu tanggung jawab bagi mereka untuk mengatasi masalah-masalah demikian berdasarkan pengajaran firman Tuhan dalam Alkitab yang ada.
            Salah satu yang menjadi latar belakang pembuatan karya ilmiah ini adalah pandangan tentang perceraian dalam hubungannya dengan etika Kristen. Adakah dasar yang membenarkan kasus perceraian dalam pandangan Alkitab yang merupakan patokan kebenaran dalam kekristenan.


BAB II
PANDANGAN ETIKA KRISTEN TENTANG PERCERAIAN
Arti Perkawinan dalam Pandangan Kristen
            Perceraian terjadi karena adanya perkawinan, maksudnya perceraian merupakan produk akhir dari sebuah perkawinan yang tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian tidak mungkin terjadi apabila tidak ada perkawinan, karena itu penting untuk mempelajari sedikit tentang arti perkawinan, khusunya perkawinan dalam pandangan kekristenan.
Perkawinan dalam pengajaran Kristen merupakan salah satu upacara yang sakral. Karena nilai sakralnya, tidak sembarang orang yang harus mengadakan acara pemberkatan dalam sebuah gereja. Pemberkatan dua insan yang dipersatukan dalam sebuah perkawinan harus diberkati oleh hamba Tuhan, hamba Tuhan dalam hal ini mereka yang ada dalam jawatan Pendeta. Nilai sakral dari perkawinan itu juga membuatnya harus dihormati. Stephen Tong berkata dalam bukunya bahwa, “Kitab Suci mengharuskan setiap orang untuk menghormati pernikahan (Ibr. 13:4). Tidak ada pengecualian. Baik orang yang sudah menikah maupun yang belum menikah, yang belum mempunyai kesempatan menikah atau yang tidak menikah, harus menghormati pernikahan.”[1]  
Perkawinan adalah komitmen seumur hidup antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang melibatkan hak-hak seksual timbal balik. Setidaknya ada tiga unsur dasar dalam konsep Alkitab tentang perkawinan, yaitu (a). perkawinan adalah antara seorang laki-laki dengan perempuan,     (b). perkawinan melibatkan penyatuan seksual, dan (c). perkawinan merupakan perjanjian di hadadapan Allah.[2]
Jadi, menurut pandangan di atas, pada dasarnya perkawinan adalah suatu ikatan perjanjian di hadapan Allah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam membangun suatu kesatuan (dalam sebuah keluarga). Tentu tujuan dalam perkawinan bukan hanya untuk penatuan seksual atau pemenuhan kebutuhan seksual semata, namun pasangan suami isteri harus saling melengkapai satu sama lain dalam membangun rumah tangga yang Allah percayakan kepada mereka. Terlebih lagi tujuan utama yang harus diingat bahwa, lemabaga kecil ini (keluarga) senantiasa di dalamnya mempermuliakan nama Allah yang telah mempersatukan mereka.
Dasar Alkitab tentang Perkawinan
            Sejak permulaan penciptaan, Allah menciptakan manusia untuk suatu tujuan yang kekal. Manusia diciptakan untuk tujuan Allah sendiri dalam dunia ini. Rick Warren berkata dalam bukunya bahwa, “Anda dijadikan untuk Allah, bukan sebaliknya, dan hidup berarti membiarkan Allah memakai Anda bagi tujuan-Nya, bukan Anda yang menggunakan Allah bagi tujuan Anda sendiri.”[3] Tapi satu hal yang perlu diingat bahwa meskipun tujuan Allah bagi manusia adalah tujuan kekekalan, namun perkawinan tidak berlanjut sampai kepada kekekalan.
            Salah satu nas yang penulis akan jadikan sebagai dasar Alkitabiah tentang perkawinan adalah pengajaran Tuhan Yesus sendiri dalam Matius 19:4-6. Dalam ayat 4 yang berkata, “Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan?” Ayat ini dikutip oleh Yesus berdasarkan firman Tuhan dalam Kejadian 1:27. Ayat ini menjelaskan tentang Allah sebagai sang Pencipta dan menciptakan laki-laki dan perempuan. Penciptaan manusia, yaitu laki-laki dan perempuan menandakan adanya perbedaan di antara keduanya meskipun keduanya sehakikat.
Perbedaan dari kedua pribadi ini (laki-laki dan perempuan) tidak menunjukkan masalah buat Allah, justru menunjukkan karya kreatif Allah yang luar biasa. Berdasarkan Kejadian 1:31 tentang apa yang Allah telah jadikan ‘sungguh amat baik’ merupakan bukti bahwa semua yang diciptakan Allah, khususnya manusia termasuk seksualitas mereka adalah hal yang “sungguh amat baik” dalam pemandangan Allah.
Nas berikutnya dalam ayat 5 dan 6 berkata, “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging . Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Ayat ini kemudian menjadi penjelasan yang mendalam dari Yesus sendiri mengenai pertanyaan yang diajukan kepada-Nya yang dikutip-Nya dari Kejadian 1:24.  Sebelumnya dalam Kejadian 1:18, 20-22 Allah melihat kebutuhan manusia pertama akan pendamping hidupnya sebagai penolong yang sepadan dengan dia. Karena itu, Allah mengaruniakan kepada manusia pertama seorang penolong yang sepadan dengan dia dengan cara mengambil salah satu rusuk Adam, dan membuat baginya seorang perempuan. B. Ward Powers berkata bahwa, “perempuan diambil dari rusuk laki-laki menunjukkan bahwa laki-laki tidak lengkap tanpa perempuan dan sebaliknya perempuan tidak lengkap tanpa laki-laki.”[4] Sedangkan penolong yang sepadan menunjukkan bahwa, perempuan merupakan rekan yang senantiasa mengasihi dan bersama-sama bertanggung jawab dalam memnuhi maksud Allah bagi kehidupan laki-laki dan keluarganya.
 Dengan demikian , lebih jelas lagi bahwa Allah menghendaki dalam sebuah perkawinan itu satu pasangan dan satu perkawinan untuk seumur hidup. Rencana Allah dalam sebuah perkawinan adalah bagaimana dalam sebuah perkawinan itu antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan bersatu menjadi satu daging, baik secara jasmani maupun rohani. Dalam semuanya itu mereka harus saling melengkapi  dalam memenuhi tujuan Allah dalam kehidupan keluarganya untuk kemuliaan Allah.
Kisah Penciptaan menunjukkan—dan pengajaran Yesus meneguhkan dan menguatkan—bahwa manusia dengan sengaja diciptakan Allah dengan tiga macam kebutuhan dasar, yakni: pertemanan hidup, saling menolong, dan pemenuhan hasrat seksual. Lebih tepat lagi mengatakan berdasarkan pandangan Alkitab bahwa sebenarnya tujuan perkawinan hanya satu, yaitu dua kehidupan yang menyatu secara menyeluruh. Ketiga tujuan di atas hanyalah aspek yang berbeda dari satu tujuan dasar itu, yang saling berkaitan satu sama lain.[5]
            Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, nyata bahwa perkawinan adalah hal yang sakral di hadapan Allah. Karena di hadapan Allah sebuah pasangan laki-laki dan perempuan mengikat perjanjian untuk masuk dalam rumah tangga melalui proses perkawinan. Perkawinan pada dasarnya Allah kehendaki untuk manusia agar mereka saling melengkapi satu sama lain. Semua yang Allah ciptakan adalah sungguh amat baik, karena diciptakan di dalam kekudusan-Nya. Oleh karena itu, perkawinan yang Allah kehendaki adalah sebuah hal yang kudus di hadapan-Nya yang seharusnya tidak dikotori oleh manusia ciptaan-Nya.
Perceraian dalam Pandangan Etika Krsiten secara Alkitabiah
            Semua masalah dalam dunia ini membutuhkan pemecahan dan tentu pemecahan itu harus diawali dengan keputusan dari setiap pribadi. Keputusan tersebut biasanya disebut sebagai keputusan etis. Keputusn etis dari setiap pribadi harus berdasarkan etika yang berlaku. Malcolm Brownlee berkata dalam bukunya bahwa, “Etika” dan “etis” hampir sama dengan “moralitas” dan “moral.” Akan tetapi dalam pemakaian ilmiah “moralitas” biasanya menyangkut kebaikan atau keburukan kelakuan lahir yang sebenarnya terjadi. Sedangkan “etika” menyangkut pemikiran yang sistematis tentang kelakuan itu serta motivasi dan keadaan batin yang mendasarinya.[6] Jadi, ketika etika dihubungkan dengan ajaran Kristen, itu berarti etika yang ada harus didasari dengan pengajaran Kristen itu sendiri. Salah satu masalah yang harus dipecahkan secara etika Kristen adalah masalah perceraian.
Pada dasarnya perkawinan yang Allah kehendaki adalah perkawinan yang bersifat monogami. Ketika Allah mempersatukan dua orang, antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah perkawinan, Allah menghendaki dan memerintahkan mereka menjadi satu daging dan tidak boleh dipisahkan satu sama lain (Mat. 19:6; Rm. 7:12). “Implikasinya adalah bahwa dalam rencana Allah yang asli, penciptaan perkawinan bersifat tidak terceraikan dan tidak ada instansi manusiawi pun yang dapat mengakhiri persatuan demikian (Mat. 19:6).”[7]
Divorce
Dalam Mal. 2:16 Allah berkata kepada Maleakhi, “Aku membenci perceraian.” Ini berarti bahwa Allah tidak pernah mengharapkan dan merancangkan perceraian di antara pasangan suami isteri dari semula, sebab ketika Allah berkata Dia membenci perceraian itu berarti perceraian adalah sesuatu yang tidak menyenangkan hati Allah. Ketika Allah mempersatukan, itu tidak boleh dipisahkan oleh manusia (Mat.19:6).
Meskipun Allah tidak pernah merancangkan adanya perceraian, namun di sisi lain yang menjadi pertanyaan, apakah Allah mengizinkan adanya perceraian? Yesus  berkata dalam Matius 19:8 demikian, “Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian.” Dari nas Matius 19:8 dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Allah mengizinkan perceraian tetapi tidak pernah memaksudkan perceraian. Perceraian terjadi pada masa Perjanjian Lama itu karena ketegaran hati umat Allah pada saat itu, bukan atas rancangan Allah. Hal itu terjadi karena kehendak manusia yang tidak sanggup mengahadapi masalah yang menimpa hubungan mereka, sehingga mengambil jalan penyelesaian masalah dengan perceraian.
Dalam Mar.10:11-12; Luk. 16:18, Yesus mengutuk keras perceraian dan secara tegas tidak memberikan perkecualian mengenai perceraian apa pun itu yang menjadi alasannya.  Yang disebut perkecualian dalam bagian paralel dalam Injil Matius (19:1- 9, bdk. dengan 5:32) menjelaskan bukan tentang perceraian karena perzinahan melainkan pembatalan karena “percabulan” sebelum perkawinan (ayat 9). Hal ini sesuai dengan penekanan Yahudi dalam Injil Matius dan hukum Yahudi tentang percabulan sebelum perkawinan menjadi dasar dibatalkannya perkawinan. Menurut hukum Yahudi, istilah suami juga berarti pria yang sudah bertunangan (Ul. 22:13-19; Mat. 1:18-25). Selanjutnya, dalam Injil Lukas tidak memberikan perkecualian untuk perceraian melainkan berkata secara tegas, “Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.”[8]
Dengan demikian perceraian merupakan tindakan yang tidak pernah dibenarkan dalam ajaran kekristenan. Perceraian yang dibolehkan di atas hanya dalam konteks ketika masih dalam keadaan bertungan. Dalam tradisi Yahudi, sebelum berlangsungnya perkawinan mereka harus bertungan terlebih dahulu. Perceraian dapat diijinkan jika mereka masih dalam status bertungan jika salah satunya didapati berbuat cabul dengan orang lain, namun setelah mereka adalah dalam ikatan perkawinan, perceraian tidak dapat diizinkan karena mereka sudah menjadi satu secara daging (Mat.19:6).
Meskipun dalam pandangan lain, beberapa orang mendukung adanya perceraian berdasarkan beberapa alasan yang juga didasari oleh firman Tuhan. Seperti adanya perzinahan yang terjadi dan ditinggalkan oleh pasangan yang tidak beriman, hal ini boleh saja melakukan perceraian. Tapi bagi penulis, perceraian dalam bentuk alasan apa pun seharusnya tidak diperbolehkan. Masalah-masalah yang terjadi dalam sebuah hubungan perkawinan tidak seharusnya diselesaikan dengan jalan perceraian, namun masih banyak cara untuk membuat kembali hubungan antara suami dan isteri baik kembali. Salah satunya adalah menyadari keterbatasan sebagai manusia yang penuh dengan kesalahan dan perlunya pertobatan yang sungguh-sungguh di hadapan Allah.
Satu hal yang perlu disadari bahwa ketika Allah sejak semulanya menciptakan manusia sebagai pasangan (monogami) yang saling diperlengkapi dan dipersatukan menjadi satu secara daging, tidak mungkin Allah juga merancangkan perceraian. Hanya kadang manusia yang tidak sanggup menjalani rancangan Allah dalam kehidupan mereka, secara khususnya dalam ikatan perkawinan, sehingga menciptakan kebenaran-kebenaran sendiri untuk mempertahankan apa yang menjadi kehendaknya.
Secara etika Kristen, memang hal ini menjadi masalah yang agak rumit untuk dijalankan. Namun bagaimana pun, ketika berbicara secara etika Kristen yang diperlukan adalah keputusan yang dapat diterima kebenarannya. “Etika Kristen menolong orang-orang untuk berpikir dengan lebih terang tentang kehendak Allah supaya mereka dapat mengembangkan hidupnya sendiri dan kehidupan masyarakat yang lebih sesuai dengan kehendak Allah.”[9] Dengan kata lain, secara etika Kristen perceraian tidak diperbolehkan. Karena perceraian tidak sesuai dengan kehendak Allah, sebab dari semula kehendak Allah adalah mempersatukan dua insan, antara satu orang laki-laki dan satu orang perempuan dalam sebuah ikatan perkawinan.
Anak Menjadi Korban Utama dalam Perceraian!
Sebuah keluarga sebenarnya menggambarkan hubungan antara Allah dan manusia. Dick Iverson dalam bukunya berkata bahwa, “Allah mengukuhkan suatu keluarga supaya terbentuk hubungan dan persekutuan yang berpusat pada Allah.”[10] Jadi ketika perceraian itu terjadi, sama halnya manusia sedang merusak hubungannya dengan Allah. Hubungan yang rusak dengan Allah masih dapat diperbaiki dan perceraian sama sekali bukan jalan untuk memperbaiki hubungan dengan Allah. Perceraian malahan merupakan unsur yang merusak seara total hubungan antara manusia dengan Allah. Kesiapan sebuah keluarga untuk dipulihkan oleh Allah adalah jalan untuk mengatasi masalah yang ada. Sekali lagi, perceraian tidak pernah menghasilkan sesuatu yang baik. “Perceraian selalu meninggalkan goresan yang tak mudah disembuhkan.”[11] Goresan itu bukan hanya dialami oleh pasangan yang bercera, tetapi anggota keluarga yang lain pun akan merasakan goresan yang mendalam, khususnya bagi anak-anak mereka.
Pada dasarnya, sesuatu yang menimbulkan dampak yang buruk bagi kehidupan manusia tentu merupakan hal yang tidak pernah dikehdaki oleh Allah. Sebab Allah senantiasa mengharapkan segala yang baik terjadi dalam kehidupan umat manusia yang dikasihinya.

BAB III
KESIMPULAN
            Perkawinan adalah pilihan hidup bagi sebagian besar manusia. Perkawinan merupakan anugerah dari Tuhan bagi setiap pasangan dalam suatu keluarga. Allah merancangkan perkawinan monogami bagi setiap manusia yang diciptakan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Namun terkadang oleh karena kesalahan manusia, mereka tidak sanggup menjalankan apa yang menjadi kehendak dari Allah dalam kehidupan mereka.
            Kesalahan manusia itu bukan hanya ingin keluar dari batasan perkawinan yang bersifat monogami, tetapi manusia malah berusaha untuk memisahkan apa yang sudah Allah persatukan dengan cara perceraian. Perceraian kadang menjadi jalan pintas untuk menyelasaikan masalah dalam kehidupan berumah tangga, namun perceraian sebenarnya bukanlah jalan yang dikehdaki Allah. Sebab ketika manusia berusaha untuk memisahkan hubungan suami isteri, itu sama halnya manusia merusak hubungan mereka dengan Allah.
            Jadi pada dasarnya, penulis melihat bahwa perceraian itu tidak dibenarkan secara etika Kristen. Bagaimana pun juga perceraian melanggar dasar kebenaran firman Tuhan yang melarang dan membenci akan perceraian. Masalah dalam sebuah rumah tangga tidak dapat diselesaikan dengan perceraian, karena perceraian hanya akan menambah goresan yang dalam bagi pasangan suami isteri dan juga keluarganya yang lain. Dengan kata lain, perceraian tidak menyelesaikan masalah yang ada, namun akan menimbulkan masalah yang baru.

DAFTAR PUSTAKA
Bergant, Dianne dan Robert J. Karris. Tafsir Alkitab Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius. 2002.
Brownlee, Malcolm. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1982.
Geisler, Norman L. Etika Kristen “Pilihan dan Isu Kontemporer” .Malang: Literatur SAAT. 2010).
Iverson, Dick dkk. Memulihkan Keluarga “Prinsip-Prinsip Kehidupan Keluarga” Jakarta: Harvest Publication House. 1996
Powers, B. Ward. Perceraian dan Perkawinan Kembali. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih. 2011.
Tong, Stephen. Keluarga Bahagia. Surabaya: Momentum. 2006.
 Warren, Rick. The Purpose Driven Life. Malang: Gandum Mas. 2006.




[1]Stephen Tong, Keluarga Bahagia (Surabaya: Momentum, 2006), 47.
[2]Norman L. Geisler, Etika Kristen “Pilihan dan Isu Kontemporer” (Malang: Literatur SAAT, 2010), 355-357.
[3]Rick Warren, The Purpose Driven Life (Malang: Gandum Mas, 2006), 18.
[4]B. Ward Powers, Perceraian dan Perkawinan Kembali (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2011), 17.
[5]Ibid., 20-21.
[6]Malcolm Brownlee, Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-Faktor di Dalamnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982),16.
[7]Dianne Bergant dan Robert J. Karris, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 62.
[8]Norman L. Geisler, 361.
[9]Malcolm Brownlee, 16.
[10]Dick Iverson, dkk, Memulihkan Keluarga “Prinsip-Prinsip Kehidupan Keluarga” (Jakarta: Harvest Publication House, 1996), 3.
[11]Norman L. Geisler, 360.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beri masukan yup!!!